KAYON, MEDIA KONSOLIDASI DAN BUDAYA KEARIFAN LOKAL

  • Oct 23, 2023
  • Bejagung

Terik matahari musim kemarau hari Minggu, 8 Oktober 2023 tak menyurutkan semangat peserta pawai budaya berduyun-duyun di halaman parkir sunan Bejagung Kidul, tepatnya depan Pondok Pesantren Sunan Bejagung.

Sebanyak 25 peserta ambil bagian untuk menyemarakan, terdiri 22 RT dan 4 kelompok , TK tunas Mekar, grup drumb band Qothrun Nada SMP Islam Sunan Bejagung, grup Bolo Sewu dan tongklek Pangurakan. Maklum saja, ini pertama dilaksanakan secara akbar se desa Bejagung.

Dalam laporan panitia disebutkan bahwa Pawai Budaya kayon dimeriahkan lebih dari 1.450 orang . acara ini dimaksudkan sebagai ajang perkenalan, persahabatan dan media silaturahmi antar masyarakat melalui kirab gunungan dengan tata hias yang didesain seindah-indahnya untuk menyalurkan kreativitas masyarakat yang berbudaya.

Dalam sambutannya, kepala Desa Bejagung, Aang Sutan MRS, menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya pada segenap masyarakat desa yang telah bersedia nyengkuyung (membantu,red) upacara adat ini.

“Terima kasih semua yang telah sudi nyengkuyung acara ini, ini acara sekali dalam seumur hidup. Kita pernah melaksanakan pada tahun 2019, tapi masih dalam skala kecil, diikuti beberapa RT saja.” Ujar mantan anggota DPRD Tuban ini.

Beliau menambahkan, “Pawai Budaya kayon. sebagai media konsolidasi antar peserta dan masyarakat Desa Bejagung untuk membangun kembali kearifan lokal dengan semangat kebersamaan.”

Turut hadir sebagai tamu undangan, dari pihak Forkopimca, kepala kepolisian sektor Semanding, Komandan Rayon Militer 0811/03 Semanding, perwakilan dari Kecamatan Semanding dan sejumlah kepala desa di Kecamatan Semanding, juga tokoh agama, tokoh masyarakat dan sesepuh di Desa Bejagung.

Juga KH. Abdul Matin Djawahir, Pengasuh Pondok Pesantren Sunan Bejagung, yang memimpin doa sebelum pemberangkatan. Beliau berdoa, agar masyarakat Desa Bejagung senantiasa diberikan kesehatan, lancar rejeki, anak sholih / sholihah, jauh dari mara bahaya, aman dan sejahtera. Pemberangkatan ditandai dengan pemukulaan gong sebanyak sembilan kali oleh salah satu ulama’ sepuh di Jawa Timur ini.

Rute pawai  melalui Dusun Krajan, Ngemplak, Besaran. Finish di halaman Masjid Syekh Asy’ari Sunan Bejagung. Start pukul 08.15 WIB dan Finish peserta terakhir pukul 11.30 WIB.

Sebagai peserta penampilan terbaik 1 diraih oleh RT. 02 RW. 05 Dusun Besaran. Terbaik 2 didapat RT. 03 RW. 06 Dusun Klampok. Serta nilai penampilan terbaik 3 oleh RT. 01 RW. 02 Dusun Krajan. Setiap peserta dengan penampilan terbaik mendapat piala, piagam serta sejumlah uang tunai.

Hal yang paling dinantikan adalah Grebeg Gunungan. Setelah doa bersama yang dipimpin Mbah Mudri, juru kunci Makam sunan Bejagung Lor. Setelah mendapat arahan dan komando dari kepala desa, secara serentak Grebek Gunungan diserbu ribuan peserta dan penonton.

Antusiasme masyarakat mendapatkan gunungan yang berasal dari hasil pertanian ini dipercaya agar mendapat berkah dari yang Maha Kuasa.

Filosofi Kayon

Kata Kayun / Kayon / Kajoon berasal dari kosa kata literatur Bahasa Jawa. Yang paling sering muncul adalah dalam pagelaran wayang kulit. Setiap intermezo adegan, sebuah gunungan (yang terekam di balik koin 100 Rupiah Rumah Gadang tahun 1978) menjadi semacam pembabakan.

Kamus Jawa-Inggris karya Elinor Clark Horne (1974) menulis arti Kajun/Kayun sebagai sebuah harapan, cita-cita, keinginan. Kata intinya ajun (kosa kata sastra)yang sinonim dengan arep (versi sehari-harinya). Juga berarti hidup (alive) atau kehidupan atau lebih luas lagi bisa bermakna realita (kehidupan).

Filosofi Kayon / Gunungan menggambarkan simbol kehidupan di alam semesta. Gunungan juga merupakan lambang pergantian lakon atau cerita tentang bagaimana manusia berjuang dan berusaha untuk mengubah jalan hidupnya. Bentuk Gunungan yang mengerucut ke atas bermakna bahwa segala daya dan upaya manusia diserahkan kepada Yang Maha Kuasa.

Sejarah Kayon Desa Bejagung

 Adat pawai Budaya Kayon merupakan warisan leluhur yang secara turun temurun dilaksanakan oleh masyarakat. Budaya Kayon tidaklah dilaksanakan setiap tahun, tapi diadakan setelah selesai membangun/merenovasi bangunan yang bernilai historis dan bermanfaat untuk khalayak, misalnya cungkup Sunan Bejagung Lor / Syekh Asy’ari, Sunan Bejagung Kidul / Pangeran Sudimoro / Syekh Alamuddin dan Masjid Sunan Bejagung.

Menurut penuturan Mbah Par’is, seorang Juru Kunci juga sesepuh Desa Bejagung, Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, pertama kali Adat Kayon di Desa Bejagung dilaksanakan pada tahun 1964 (pasca renovasi cungkup Sunan Bejagung Lor). Kedua diadakan pada tahun 2019 setelah perbaikan atap cungkup Sunan Bejagung Lor.

Adat Kayon dilaksanakan sebagai ungkapan syukur atas nikmat dan anugerah yang terlimpah atas keamanan dan ketentraman dalam kehidupan. Lebih Khusus lagi, atas selesainya pembangunan yang monumental yang mempunyai nilai sejarah tinggi. (ril)