Sejarah Desa Bejagung

ASAL MULA DESA BEJAGUNG

 

Setiap desa pasti memiliki sejarahnya masing-masing, demikian halnya dengan Desa Bejagung. Sejarah asal muasal desa seringkali tertuang dalam dongeng-dongeng yang diwariskan secara turun-temurun dan disampaikan dari mulut kemulut. Sehingga sulit dibuktikan kebenarannya secara fakta.

Dongeng tentang asal muasal Desa Bejagung diantaranya yang paling populer adalah tentang keberadaan Sunan Bejagung. Pada awalnya di daerah Tuban ada seorang ulama besar yang diberi tanah perdikan di sebelah selatan Kabupaten Tuban oleh Bupati Tuban ke-7 (Adipati Aryo Tejo). Di tanah perdikan itu beliau mendirikan pesantren untuk menjalankan Agama Islam. Ulama tersebut bernama Maulana Abdullah Asy’ari.

Pada suatu saat datang seorang santri yang dikirim oleh Syaikh Jumadil Kubro yang bernama Pangeran Kusuma Hadiiningrat atau Pangeran Sudimoro yang ternyata beliau adalah putra dari Prabu Brawijaya IV (Raja Majapahit).

Pangeran Kusuma Hadiningrat pergi meninggalkan kerajaan dikarenakan sangat merisaukan akan adanya perebutan tahta kerajaan antara Pangeran Wirobumi dengan saudaranya bernama Putri Kusuma Wardani. Dia memandang kedudukan dan pangkat hanyalah jembatan yang menggambarkan pada pertumpahan darah yang tiada habisnya. Kemudian beliau pamit kepada ayahandanya untuk pergi menuntut ilmu Agama Islam di pesantren milik Syekh Jumadil Kubro (Trowulan – Mojokerto).

Setelah beberapa lama mengaji Pangeran Kusuma Hadiningrat oleh Syekh Jumadil Kubro diberi nama Hasyim Alamuddin, dan diperintahkan untuk meneruskan belajarnya kepada Maulana Abdullah Asy’ari di Tuban.

Setelah lama belajar Agama Islam di Tuban, sang Prabu Brawijaya IV berusaha setelah mengetahui bahwa putranya mengaji di Tuban. Beliau memerintahkan patihnya bernama Gajah Mada yang memiliki ilmu kedigdayaan sangat tinggi dan terkenal dengan ilmu Barat Ketigo. Berita tersebut didengar oleh Pangeran Sudimoro menghadap kepada Sultan mohon agar beliau membantunya untuk menolak kehendak Sang Prabu Hayam Wuruk. Sebab beliau ingin tetap menekuni ilmu Agama Islam saja, tidak ingin menjadi raja. Kehendak Pangeran Sudimoro tersebut dikabulkan oleh Sunan Syeh Asy’ari.

Selanjutnya Syekh Asy’ari menggarit tanah disekitar padepokan kesunanan yang sampai sekarang dikenal dengan Siti Garit agar tentara Mojopahit tidak masuk kesunanan. Setelah tentara Mojopahit akan masuk kesunanan tidak bisa, akhirnya berhenti diarah selatan kesunanan. Setelah itu seorang santri melapor kepada Kanjeng Sunan, bahwa di sebelah selatan banyak pasukan gajah dari Mojopahit. Kanjeng Sunan mengatakan tidak Gajah tetapi batu, seketikan itu semua gajah menjadi batu. Dan sekarang dikenal dengan Watu Gajah. Setelah itu tentara Mojopahit kembali dan melaporkan kejadian tersebut kepada Sang Prabu Hayam Wuruk bahwa semua pasukan Mojopahit menjadi batu.

Kemudian Sang Prabu memerintahkan kepada Patih Gajah Mada yang terkenal dengan ilmunya Barat Ketigo. Sehingga Patih Gajah Mada tanpa bala tentara menyamar dan menggunakan nama Barat Ketigo. Sesampai di wilayah kesunanan beliau merontokkan dan menggoyangkan semua buah pohon kelapa. Kemudian datanglah Syekh Asy’ari lalu bertanya ”Untuk apa anda menggoyang pohon kelapa. Gajah Mada atau Barat Ketigo, saya haus mbah dan ingin minum. Sunan berkata, ”Kalau digoyang terlalu keras, nanti yang muda ikut berjatuhan dan tidak bisa dimanfaatkan buahnya, begini lho caranya. Akhirnya Sunan merebahkan pohon kelapa dengan cangkul. Kemudian Barat ketigo mengambil buah kelapa yang sudah tua dengan mudahnya. Kemudian setelah cangkul dilepas pohon kelapa kembali tegak berdiri dengan semula. Dari sinilah kekaguman Patih Gajah Mada atas kesaktian Sunan Bejagung.

Karena masih penasaran dan belum puas beradu kesaktian dengan Sunan Bejagung, akhirnya Gajah Mada meminum semua air kelapa dan ia pura-pura masih haus, dan ingin minum air lebih banyak lagi, lalu dia berkata: ”Mbah saya masih haus, adakah air lagi yang bisa diminum?.” Kemudian Kanjeng Sunan Bejagung berkata ”Kalau demikian anda tunggu disini saya ambilkan air.” Tidak lama kemudian Kanjeng Sunan Bejagung mengambil air dimasukkan kedalam maja kecil sebesar bola tennis yang disebut Mojo berduri/mojo ri. Melihat ulah Sunan Bejagung yang aneh tersebut Barat Ketigo tertawa geli: ”Masak air hanya sedikit dalam Mojo sekecil itu kok bisa membuat saya puas dari haus, mana mungkin!. Ternyata setelah air itu di dalam Mojo kecil tersebut masih utuh dan tidak habis-habis. Sehingga mojo tersebut disebut MOJO AGUNG (sekarang digunakan nama Desa Mojo Agung atau Bejagung).

Pada zaman Mojopahit Desa Bejagung merupakan tanah perdikana atau hadiah dari Bupati Tuban yang ketujuh Aryo Tejo II, kepada Syekh Asy’ari atau Sunan Bejagung.

Seiring dengan  perkembangan zaman tanah perdikan tersebut berubah menjadi desa yaitu desa Bejagung yang dipimpin oleh seorang Demang. yang terdiri dari empat dusun antara lain Dusun Krajan, Dusun Ngemplak, Dudun Besaran dan dusun Klampok.

Sumber: Tuban Bumi Wali